keluarga dengan orang tua tunggal

26 May 2010 at 4:57 PM (perkuliahan, urgent information) ()

Cut Hani Bustanova
Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia

LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Seiring dengan perkembangan zaman, pengertian mengenai keluarga menjadi semakin luas. Menurut DeGenova (2008) keluarga adalah kelompok orang yang disatukan oleh ikatan pernikahan, hubungan darah, adopsi, dan hubungan seksual ekspresif lainnya, dimana orang dewasa saling bekerjasama secara finansial untuk saling mendukung kebutuhan keluarga, orang-orang di dalamnya saling berkomitmen satu sama lain dalam suatu hubungan antarpribadi yang intim, anggota-anggota keluarga memandang identitas individu mereka sangat dekat dengan kelompok tersebut, dan kelompok tersebut memiliki identitasnya sendiri.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikategorikan beberapa bentuk keluarga di antaranya keluarga inti, extended family, blended family, binuclear family, keluarga poligami, keluarga tiri, keluarga dengan orang tua tunggal, a voluntary childless family, a family of procreation, keluarga patriarchal, keluarga matriarchal, dan cohabiting family. Dalam makalah ini saya akan membahas tentang salah satu bentuk keluarga yaitu keluarga dengan orang tua tunggal.
Dewasa ini jumlah keluarga dengan orang tua tunggal semakin meningkat. Menurut Degenova (2008) peningkatan tersebut disebabkan karena tingginya angka perceraian, teknologi yang memungkinkan wanita dapat hamil tanpa perlu menikah (sperm-banks), dan peningkatan penerimaan masyarakat terhadap orang tua tunggal. Sejalan dengan itu, Perlmutter&Hall (1985) menambahkan alasan lainnya, yakni karena adanya kematian suami atau istri, keinginan memiliki anak tanpa menikah, dan adopsi anak oleh wanita atau pria lajang. Pada berbagai kasus di Indonesia, bentuk keluarga dengan orang tua tunggal yang sering dijumpai adalah karena adanya perceraian dan kematian salah satu pasangan.
Keluarga dengan orang tua tunggal dapat dipimpin oleh wanita maupun pria. Namun berdasarkan berbagai sumber referensi, mayoritas di seluruh penjuru dunia jumlah keluarga dengan orang tua tunggal wanita lebih banyak dibandingkan dengan keluarga dengan orang tua tunggal pria. Menurut androlog Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo MS.Med, Sp. And. (2002) perbandingan jumlah janda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda atau pria tidak menikah berusia 60 tahun ke atas jumlahnya hanya seperlima dari jumlah janda, sementara di Jepang rasionya 364:100, Pakistan (357:100), Jerman (305:100), Filipina (258:100), Amerika Serikat (218:100), Cina (193:100) dan India (295:100). (http://www.gatra.com/2002-07-04/artikel.php?id=18719). Menurut Kimmel (1980), hal ini disebabkan karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya dan lebih banyak duda yang menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibanding duda.
Dewasa ini jumlah keluarga dengan orang tua tunggal wanita di Indonesia semakin meningkat. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik tahun 1994 (dalam Hapsari S. rini, 1999) menunjukan bahwa jumlah wanita di Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena bercerai sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.568 orang (total 4.459.724). Sedangkan pada tahun 2004, berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia yang kepala keluarganya berstatus janda. (http://www.pekka.or.id/media/kompas/Republika_19Juli2004.doc). Hal ini berarti terjadi kenaikan jumlah orang tua tunggal wanita hampir sepuluh kali lipat selama rentang waktu sepuluh tahun.
Tentu saja tidak mudah menjadi orang tua tunggal wanita. Kimmel (1980) menyebutkan bahwa orang tua tunggal wanita menghadapi kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, mendapatkan pekerjaan yang layak, pembayaran biaya untuk anak, dan kebutuhan lainnya. Data Pekka (2004) juga menyebutkan bahwa lebih dari separuh janda yang menjadi kepala keluarga di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh DeGenova (2008) yakni bahwa tekanan finansial adalah masalah umum yang dihadapi orang tua tunggal, dan keluarga dengan orang tua tunggal lebih cenderung hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan orang tua lengkap (ganda). Penelitian menunjukan bahwa walaupun dampak memiliki pendidikan yang cukup baik sudah dikontrol, ayah tunggal tetap lebih baik secara ekonomis dalam menopang kehidupan keluarganya daripada ibu tunggal (Zhan dan Pandey dalam DeGenova 2008).
Untuk itu, melalui metode wawancara terhadap subjek, saya ingin mengetahui gambaran kehidupan keluarga dengan orang tua tunggal wanita secara menyeluruh. Terutama mengenai masalah-masalah yang dihadapi dan cara mereka menyelesaikan masalah tersebut.

LANDASAN TEORI

Definisi Keluarga Dengan Orang Tua Tunggal

Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering dijumpai keluarga dimana salah satu orang tuanya tidak ada lagi. Keadaan ini menimbulkan apa yang disebut dengan keluarga dengan orang tua tunggal. Hammer&Turner (1990) menyatakan bahwa:
“A single parent family consist of one parent with dependent children living in the
same household”. (Hamner&Turner, 1990: 190)

Sementara itu, Sager, dkk (dalam Duvall&Miller, 1985) menyatakan bahwa orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. Sejalan dengan pendapat Sager, dkk, Perlmutter dan Hall (1985) menyatakan bahwa orang tua tunggal adalah:
“Parents without partner who continue to raise their children” (Perlmutter&Hall, 1992: 362)

Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga dengan orang tua tunggal adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu orang tua yang dimana mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, tanggung jawab pasangannya dan hidup bersama dengan anak-anaknya dalam satu rumah.

Tipologi Pribadi Tunggal

Menurut DeGenova (2008) terdapat beberapa kategori pribadi tunggal (single person). P. Stein (dalam DeGenova, 2008) membentuk tipologi pribadi tunggal berdasarkan apakah mereka menyadari statusnya sebagai pribadi tunggal atau tidak (voluntary single atau involuntary single). Tipologi tersebut adalah Voluntary Temporary, Voluntary Stable, Involuntary Temporary, dan Involuntary Stable.

Permasalahan pada Keluarga Dengan Orang Tua Tunggal

Kimmel (1980) dan Walsh (2003) menyatakan beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tunggal baik wanita maupun pria yakni merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksualnya, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
Sedangkan masalah khusus yang timbul pada keluarga dengan orang tua tunggal wanita adalah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, kesulitan mendapat pekerjaan yang layak, kesulitan membayar biaya untuk anak, kesulitan menutupi kebutuhan lainnya. Sementara pada keluarga dengan orang tua tunggal pria masalah khusus yang timbul hanya dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak (Kimmel 1980).
Pada kasus keluarga dengan orang tua tunggal yang terjadi karena perceraian, Duvall&Miller (1985) menyatakan bahwa baik bagi wanita maupun pria proses setelah terjadinya perceraian seperti orang yang baru mulai belajar berjalan dengan satu kaki, setelah kaki yang lainnya dipotong. Perceraian adalah proses amputasi pernikahan. Tidak peduli seberapa pentingnya perceraian tersebut, perceraian tetap saja menyakitkan.

Strategi Coping Orang Tua Tunggal dalam Menyelesaikan Masalah

Dengan adanya beragam permasalahan yang timbul dalam keluarga dengan orang tua tunggal wanita, strategi penyelesaian masalah yang mereka lakukan juga bervariasi. Menurut Taylor (dalam Hapsari, S. Rini, 1999) penelitian yang diadakan oleh Folkman, dkk pada tahun 1986 berhasil mengembangkan delapan strategi baru dari jenis coping terpusat masalah dan coping terpusat emosi. Menurut Lazarus&Folkman (dalam Hapsari, S. Rini, 1999), dari kedelapan strategi tersebut tiga strategi tergolong dalam Problem Focused Coping dan lima strategi tergolong Emotion Focused Coping. Tiga strategi yang tergolong Problem Focused Coping, adalah sebagai berikut:

1. Confrontative Coping. Strategi yang ditandai oleh usaha-usaha yang bersifat agresif untuk mengubah situasi. Hal ini dilakukan individu dengan tetap bertahan pada apa yang diinginkan.

2. Planful Problem Solving. Strategi yang menggambarkan usaha-usaha terpusat pada masalah yang dilakukan secara hati-hati untuk mengatasi situasi yang menekan. Dimana individu mengetahui apa yang harus dilakukannya. Salah satu langkah yang ditempuhnya adalah melipatgandakan usaha agar berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapi dan membuat rencana dari hal-hal yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan secara konsekuen akan menjalankan rencana tersebut.

3. Seeking Social Support. Strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk mencari nasihat, informasi atau dukungan emosional dari orang lain. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara membicarakannya dengan orang lain yang dapat memberi saran dan alternatif pemecahan masalah secara konkret.

Sementara lima strategi yang tergolong Emotion Focused Coping, adalah:

4. Self-Control. Strategi yang menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mengatur perasaan-perasaanya dengan cara menyimpan perasaan-perasaan tersebut agar keadaan atau masalah yang dihadapi individu tidak diketahui oleh orang lain.
5. Distancing. Usaha yang dilakukan untuk menjaga jarak antara diri sendiri dengan masalah yang dihadapi dan bertingkah laku mengabaikan masalah yang dihadapi tersebut. Individu secara sadar menolak untuk memikirkan atau larut dalam masalah dan menganggap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

6. Positive Reappraisal. Strategi yang ditandai oleh usaha-usaha untuk menemukan makna yang positif dari masalah atau situasi menekan yang dihadapi dan dari situasi tersebut.

7. Accepting Responsibility. Suatu strategi yang pasif, dimana individu mengakui atau menerima bahwa dirinya memiliki peran dalam masalah tersebut.

8. Escape/Avoidance. Strategi berupa perilaku menghindar atau melarikan diri dari masalah dan situasi stress dengan cara berkhayal atau berangan-angan dan juga dengan cara makan, minum, merokok, menggunakan obat-obatan atau melakukan pengobatan.

HASIL WAWANCARA DAN ANALISIS KASUS

Hasil Wawancara

Subjek D
Subjek adalah seorang janda disebabkan karena kematian suaminya sejak setahun yang lalu (Juni 2009). Kematian suaminya tidak diketahui dengan jelas apa sebabnya. Tiba-tiba pada suatu hari suaminya muntah darah, keesokan harinya suami nya dibawa ke rumah sakit dan akhirnya meninggal dunia. Suaminya tidak menderita penyakit kronis dan keadaannya sebelum meninggal tidak menunjukan tanda-tanda sakit. Hal ini membuat subjek merasa sangat shock, sangat sedih, dan merasa sangat kehilangan sosok kepala keluarga yang menyebabkan dirinya harus bertanggung jawab secara penuh untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan penyediaan pendidikan anak. Selain itu, subjek juga merasa setelah suaminya meninggal ia tidak lagi memiliki tempat berbagi cerita dan menyampaikan keluh kesah.
Subjek mengalami dua masalah utama setelah suaminya meninggal, yakni masalah kenakalan anak pertamanya dan masalah keuangan. Subjek kesulitan membujuk dan menasihati anak pertamanya yang sering membolos sekolah. Anaknya sampai harus mengulang UAN karena malas belajar. Padahal subjek sudah menunggak biaya sekolah selama tiga bulan. Ketika dinasihati anaknya cenderung acuh lalu tetap melakukan kebiasaan buruknya. Kakak ipar subjek juga turut menasihati si anak, namun hasilnya tetap sama. Menurut subjek, mungkin anaknya sedang memiliki permasalahan yang mengganggu pikirannya, yakni putus cinta. Padahal sebelum kematian suaminya si anak tidak senakal seperti saat ini. Namun demikian subjek tetap sabar dalam menasihati anaknya walaupun anaknya terus-menerus acuh pada dirinya.
Masalah lain yang dialami subjek adalah masalah keuangan. Sebelum suaminya meninggal, subjek dan suaminya sudah berwirausaha dengan membuka warung kelontong di depan rumah. Modal usaha warungnya diperoleh melalui pinjaman koperasi kelurahan. Ketika sudah mendapatkan untung dari warung, subjek membayar hutangnya lalu pihak koperasi mengizinkan subjek untuk meminjam modal kembali, demikian seterusnya. Memang dari keuntungan penjualan warung subjek dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan ongkos transportasi sekolah anaknya, namun terkadang ia kesulitan untuk menutupi kebutuhan lainnya seperti uang kegiatan dan praktek sekolah anaknya yang pertama.
Bantuan materi terkadang datang dari pihak keluarga suami dan dari tetangga yang status sosial ekonominya lebih tinggi. Namun bantuan tersebut bersifat tentatif. Subjek mengaku tidak berani dan enggan meminjam apalagi meminta bantuan materi baik pada keluarga maupun tetangga. Ia merasa sangat malu dan lebih baik berusaha sendiri dari pada meminjam pada orang lain dan juga takut terlilit hutang. Subjek juga tidak suka menceritakan kesedihan dan kesulitannya menjadi ibu tunggal baik pada keluarga terdekatnya sekalipun maupun kepada tetangganya (subjek sampai menitikkan air mata ketika saya wawancarai pada bagian ini).
Saat ini, subjek merasakan perbedaan dalam hal mengasuh anak dibandingkan dengan ketika dulu suaminya masih hidup. Dulu suaminya (buruh pabrik) yang bertanggung jawab penuh mencari nafkah bagi keluarga dan mendidik anak. Dulu sebelum suaminya meninggal, ketika ada permasalahan keluarga subjek tetap ikut andil dalam pengambilan keputusan, namun subjek hanya menjadi “wakil” suaminya. Sekarang tanggung jawab yang ia emban menjadi bertambah yakni sebagai pencari nafkah, pendidik ketiga anaknya secara langsung sekaligus pengurus rumah tangga.
Setelah suaminya meninggal, pola makan subjek tidak teratur dan berat badan subjek turun 15 kg. Subjek memang tidak memiliki penyakit kronis namun ia mengeluh sering pusing memikirkan masalah yang hanya ia tanggung sendiri. Pada bulan-bulan pertama kematian suaminya, subjek mengalami stress sampai berkali-kali pingsan. Cara subjek mengatasi stress di antaranya dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat tahajjud dan beristighfar. Selain itu, menurut pengakuan subjek, anaknya yang terkecil sering menghiburnya.
Subjek merasa kesepian dan ingin menikah lagi. Namun ia hanya ingin menikah dengan suami yang bertanggung jawab mengingat dirinya saat ini berstatus janda dengan tanggungan tiga orang anak. Ia mengatakan hubungannya dulu dengan suaminya sangat harmonis. Suaminya dulu dikenal sebagai orang yang baik, memiliki banyak teman, pergaulannya baik dan luas dan taat beribadah. Subjek mengatakan jika ia menikah lagi nanti, ia ingin mendapatkan suami yang lebih baik dari suaminya yang dulu. Sementara pihak anak dan keluarga subjek membebaskan subjek untuk menikah lagi atau tidak.
Sejauh ini hubungan subjek dengan tetangga dan komunitas pengajian di sekitar rumahnya terjalin dengan baik. Subjek mengikuti pengajian seminggu sekali. Selain itu, subjek juga mengikuti perkumpulan anggota koperasi kelurahan setiap sebulan sekali. Namun demikian, subjek merasa mendapat perlakuan berbeda dari salah satu tetangga wanita, dimana sebelum suaminya meninggal wanita tersebut bersikap ramah dan sering menyapanya. Namun sekarang, wanita tersebut cemburu pada subjek karena suaminya sering membeli rokok pada warung subjek. Hal tersebut menyebabkan subjek diberikan label ”janda genit” oleh wanita itu dan sekarang wanita tersebut selalu memalingkan muka ketika berpapasan dengan subjek. Untungnya, subjek mengaku tidak pernah mendangar gossip miring tentang dirinya dari orang-orang yang ia kenal.

Subjek S
Subjek juga seorang janda disebabkan karena kematian suaminya sejak satu setengah tahun yang lalu. Saat itu, sekitar enam hari sebelum meninggal, suaminya mengeluh migrain. Setelah minum obat, sakitnya tidak kunjung pulih. Suaminya malah muntah-muntah dan kepalanya terasa panas dan pusing. Akhirnya subjek membawa suaminya ke rumah sakit. Setelah diperiksa tekanan darah suaminya sangat tinggi, mencapai 190. Padahal menurut pengakuan subjek, suaminya tidak memiliki riwayat darah tinggi, subjek mengasumsikan hal itu terjadi mungkin karena suaminya meminum obat Bodrex Migra melebihi dosis yang dianjurkan. Lantas suaminya dirawat selama tiga hari dirumah sakit. Kemudian sempat dibawa pulang ke rumah. Setelah empat hari di rumah, akhirnya suaminya meninggal dunia.
Awalnya, subjek merasa sangat sedih dan kehilangan sosok suami sekaligus kepala keluarga yang mencari nafkah bagi dirinya dan kedua anaknya yang masih sekolah. Dulu, suaminya bekerja sebagai penjual tanaman sedangkan subjek sendiri memiliki keterampilan menjahit dan mendapatkan pemasukan yang cukup untuk makan dan ongkos transportasi sekolah anak-anaknya sehari-hari. Ia merasa bingung darimana akan mendapat pemasukan ekonomi keluarga untuk menyelesaikan biaya pendidikan kedua anaknya.
Pernikahan subjek dan suaminya telah berlangsung selama 33 tahun. Selama itu, keluarga ini telah empat kali berpindah rumah. Subjek saat ini tinggal di rumah kelima dimana suaminya meninggal di rumah tersebut. Selama empat kali pindah rumah, tidak pernah ada masalah penyesuaian anggota keluarga subjek terhadap rumah baru. Hal ini dikarenakan perpindahan terjadi ketika kelima anaknya masih kecil.
Sampai saat ini masalah utama yang dihadapi subjek adalah masalah keuangan, terutama biaya pendidikan. Hubungan subjek dengan seluruh anakya cukup baik. Saat ini, anaknya yang keempat masih kelas dua SMA sedangkan yang kelima baru saja lulus SMP. Karena suaminya sudah meninggal, sumber pemasukan utama subjek hanyalah hasil jahitan. Hasil jahitan cukup untuk membeli makanan dan ongkos transportasi kedua anaknya ke sekolah.
Untungnya kedua anaknya yang masih sekolah mendapatkan santunan dari pihak sekolah berupa keringanan biaya pendidikan. Subjek hanya diwajibkan membayar setengah dari total SPP kedua anaknya. Sedangkan mengenai kesulitan ekonomi untuk kebutuhan sehari-hari, seringkali subjek curhat kepada kedua anaknya yang sudah berkeluarga. Jika anaknya memiliki kelebihan materi beliau pasti dibantu.
Selama kurun waktu satu setengah tahun ini subjek berperan sebagai orang tua tunggal secara utuh. Jika dulu sebelum suaminya meninggal ia hanya konsentrasi mendidik anak, mengurus anak, dan mengurus rumah tangga, sekarang ia merangkap sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Selain masalah keuangan tadi, subjek tidak menghadapi masalah lain. Prestasi kedua anaknya di sekolah cukup baik. Memang terkadang timbul masalah baik masalah keluarga maupun perilaku anak. Namun subjek selalu menasihati kedua anaknya dengan sabar dan tidak pernah ada masalah yang tidak terselesaikan. Begitupula sebelum suaminya meninggal, subjek memang lebih dominan dalam mendidik anak, mengasuh anak, dan memutuskan masalah yang dialami anak. Subjek lebih dekat dengan anak-anaknya.
Akhir-akhir ini subjek sering ke puskesmas untuk berobat dan cek kesehatan. Subjek mengaku tidak pernah mengalami stress karena permasalahan yang ia hadapi dalam keluarga. Ia mengaku terkadang hanya pusing memikirkan pemasukan uang untuk ongkos transportasi kedua anaknya ke sekolah. Subjek mengaku tidak merasa kesepian karena masih memiliki dua anak yang masih tinggal serumah dengan dia. Subjek juga tidak ingin menikah lagi karena khawatir jika menikah lagi akan mendapatkan suami yang tidak bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup kedua anaknya. Subjek mengatakan hubungannya dulu dengan suaminya sangat baik. Suaminya dulu dikenal sebagai orang yang baik, ramah, rapi, dan kreatif. Pihak keluarga subjek tidak dan belum ada yang menyarankan untuk menikah lagi.
Sejauh ini hubungannya dengan tetangga dan komunitas pengajian di sekitar rumahnya terjalin dengan baik. Subjek mengikuti pengajian dua kali seminggu. Subjek merasa tidak pernah mendapat perlakuan berbeda dari tetangganya karena statusnya sebagai orang tua tunggal. Selain itu, subjek juga tidak pernah mendengar gossip miring tentang dirinya dari orang-orang yang ia kenal.

Subjek H
Pertama kali subjek menikah saat usianya 14 tahun. Saat itu tahun 1976, ia menikah dengan seorang pria yang berusia 27 tahun dan dikaruniai satu orang anak. Setahun kemudian, suaminya meninggal karena menderita sakit stroke selama dua minggu. Kemudian pada tahun 1979 subjek menikah kembali dengan seorang pria yang merupakan pilihan ayahnya (dijodohkan). Melalui pernikahan keduanya ia dikaruniai tiga orang anak. Dua anak perempuannya saat ini sudah berkeluarga dan satu anak bungsunya (laki-laki) masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir. Namun, pernikahan subjek dengan suami keduanya hanya bertahan tujuh tahun (subjek bercerai suami keduanya pada tahun 1986). Sejak saat itulah subjek mulai bekerja menafkahi kehidupan keluarganya sampai saat ini.
Pada saat suami pertamanya meninggal subjek merasa sangat sedih dan bingung. Karena subjek khawatir tidak dapat menghidupi keluarga dan membesarkan anaknya. Oleh karena itu ayahnya menyarankan untuk menikah lagi. Akhirnya subjek menerimanya dan menikah dengan suami kedua. Subjek merasa tidak terlalu mengenal suaminya itu. Suami keduanya bekerja sebagai karyawan swasta di daerah Cengkareng (cukup jauh dari rumah subjek yang terletak di Karawaci, Tangerang). Oleh karena itu, suaminya mengontrak rumah di daerah Cengkareng. Subjek bertemu suaminya setiap seminggu sekali di rumah mereka yang sebenarnya masih rumah orang tua subjek. Subjek mengatakan perceraiannya terjadi karena memang merasa tidak cocok lagi dengan suaminya. Awalnya ia memiliki harapan suaminya akan dapat menghidupi dia dan keluarga dan mengubah keadaan ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Namun ternyata yang terjadi sama saja seperti sebelum menikah. Akhirnya subjek memutuskan untuk bercerai. Proses perceraiannya berlangsung selama tiga bulan. Subjek tidak terbuka dalam mengemukakan apa sebenarnya masalah yang membuat subjek bercerai dengan suaminya. Subjek hanya mengatakan, ”Kalau memang bukan jodoh mau diapakan lagi.”
Memang sejak hampir 24 tahun yang lalu subjek menghadapi kesulitan keuangan. Sedangkan mengenai pengasuhan anak, subjek tidak merasa terlalu repot. Subjek berupaya mengatasi masalah keuangannya itu dengan bekerja. Pertama kali ia bekerja sebagai karyawan PT. Sumtek selama lima tahun. Setelah itu ia menganggur setahun. Selama itu ia menghidupi anaknya dengan sisa uang yang masih ada dan berusaha mencari pekerjaan baru. Kemudian ia pindah ke pabrik kasur dan bertahan bekerja di sana sebagai sewing operator. Sejak saat itu sampai sekarang pemasukan keuangan keluarganya hanya dari gajinya di pabrik kasur. Subjek tidak mendapatkan bantuan dari pihak manapun baik keluarga, teman, maupun tetangga. Selama itu pula subjek menjalankan peran ganda sebagai ibu dan ayah yang harus mencari uang, mengasuh anak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Subjek mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang dan selalu menasihati jika anak-anaknya nakal. Jika anak-anaknya tidak mendengar nasihatnya ia tidak akan ambil pusing karena ia yakin anaknya pasti akan menyadari kesalahannya sendiri nanti. Namun demikian, subjek tetap mengedepankan pendidikan anak laki-lakinya sampai sekolah pada tingkat perguruan tinggi walaupun ia sendiri hanya lulusan SD.
Subjek pernah divonis dokter mengidap usus buntu. Namun demikian, karena subjek sangat jarang merasakan sakit ketika beraktivitas ia merasa dirinya sehat-sehat saja. Ia menyadari mungkin karena usianya yang semakin tua terkadang ia sering kelelahan bekerja. Namun apa boleh buat subjek harus tetap bekerja untuk dapat menghidupi keluarganya. Saat ini di rumahnya subjek hanya tinggal dengan ibunya dan anaknya yang masih kuliah. Sedangkan tiga anaknya yang lain sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Subjek sebenarnya sering merasa pusing karena seringkali pemasukan dari gaji yang ia dapatkan selalu lebih kecil daripada pengeluaran. Tetapi, ia merasa tidak perlu memikirkan hal itu. Jadi meskipun tidak pernah ada yang membantu kesulitannya dalam hal ekonomi ia tetap tegar terus berusaha menjalani hidup yang sudah menjadi takdirnya.
Subjek mengaku tidak merasa kesepian karena memiliki empat orang anak yang sejak dulu sampai sekarang telah menggoreskan baik suka maupun duka dalam kehidupannya. Subjek juga tidak ingin menikah lagi karena khawatir jika menikah lagi akan mendapatkan suami yang tidak bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Selain itu karena subjek pernah mengalami kegalan pernikahan sebelumnya.
Subjek sudah tidak terlalu ingat tentang kepribadian suami pertamanya yang meninggal dulu. Sedangkan suami keduanya ia mengaku orangnya biasa-biasa saja. Subjek cenderung menutupi permasalahan yang ia hadapi dulu. Namun berdasarkan pengakuannya bahwa ia hanya bertemu seminggu sekali saat menikah selama 7 tahun dulu, sepertinya subjek kurang memiliki komunikasi yang cukup baik. Selain itu, subjek juga tidak pernah bertemu dengan suaminya lagi setelah bercerai. Pihak keluarga subjek tidak ada yang menyarankan untuk menikah kembali setelah ia mengalami perceraian.
Hubungan subjek dengan keempat anaknya sejak dahulu sampai saat ini baik-baik saja. Tiga anaknya sudah menikah dan seminggu sekali sering mengunjungi subjek meskipun jarang memberikan bantuan. Menurut subjek mungkin karena keadaan ekonomi mereka juga serba kekurangan sehingga tidak dapat membantu subjek secara materi. Subjek juga sering bermain dengan cucunya ketika mereka datang. Sedangkan anaknya yang terakhir masih tinggal serumah dengan subjek dan komunikasi antara subjek dan anak terakhirnya cukup baik.
Hubungan subjek dengan tetangganya biasa-biasa saja. Subjek mengaku tidak terlalu peduli dengan keadaan tetangganya. Ia merasa sibuk dengan pekerjaannya di pabrik dan di rumah. Sehingga ia tidak memiliki waktu untuk berkumpul atau mengobrol dengan tetangganya. Subjek juga tidak pernah mengikuti pengajian yang diadakan lingkungan sekitar rumahnya. Oleh karena itu, subjek merasa tidak peduli dengan perlakuan tetangganya karena subjek cenderung cuek dengan lingkungannya. Begitujuga mengenai adanya ”gossip” miring, subjek mengaku tidak tahu apakah ada tetangganya yang mengutarakan ”gossip” miring tentang dia atau tidak.

Analisis Kasus
Kondisi keluarga ketiga subjek dapat dikatakan sebagai keluarga dengan orang tua tunggal wanita. Karena struktur keluarga ketiga subjek saat ini hanya terdiri dari satu orang tua (ibu) yang hidup bersama anak-anaknya dalam satu rumah (Hammer&Turner, 1990) dan mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya (Sager, dkk (dalam Duvall&Miller, 1985) dan (Perlmutter dan Hall , 1985). Pada kasus subjek S dan H, beberapa anaknya sudah berkeluarga, namun masih ada anak yang menjadi tanggungan subjek.
Pada subjek D dan S, penyebab menjadi orang tua tunggal adalah karena kematian pasangan dan lama menjanda hanya 1 dan 1,5 tahun. Sedangkan subjek H selain karena kematian pasangan juga karena adanya perceraian dan ia memiliki lama waktu menjanda paling panjang, yakni 26 tahun. Perasaan ketiga subjek saat mengetahui suaminya meninggal adalah merasa sangat kehilangan, sedih, bingung, dan khawatir bagaimana cara mencari nafkah untuk menutupi seluruh kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Namun pada subjek D, ia menambahkan bahwa ia kehilangan tempat berbagi cerita dan menyampaikan keluh kesah. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Maharin (dalam Diah I. Z., 2007) yakni proses kematian tidak hanya melibatkan individu yang meninggal, namun yang lebih penting adalah mereka yang ditinggalkan dan harus mengatasi kematian tersebut serta menyesuaikan diri dengan rasa kehilangan orang yang dicintai.
Khusus pada subjek H yang mengalami perceraian, ia tidak terbuka mengemukakan apa sebenarnya masalah yang membuat subjek bercerai dengan suaminya. Subjek mengatakan, ”Kalau memang bukan jodoh mau diapakan lagi.” Namun dari pernyataan tersebut subjek menunjukan bahwa ia memang sudah pasrah dengan perceraiannya itu. Tentu saja ia merasa sedih (walau ia tidak menunjukkannya pada orang lain) karena ternyata suaminya tidak sebaik yang ia harapkan sebelumya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Duvall&Miller (1985) bahwa baik bagi wanita maupun pria proses setelah terjadinya perceraian seperti orang yang baru mulai belajar berjalan dengan satu kaki, setelah kaki yang lainnya dipotong. Perceraian adalah proses amputasi pernikahan. Tidak peduli seberapa pentingnya perceraian tersebut, perceraian tetap saja menyakitkan.
Masalah utama yang dialami ketiga subjek adalah masalah keuangan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh DeGenova (2008) yakni tekanan finansial adalah masalah umum yang dihadapi orang tua tunggal dan keluarga dengan orang tua tunggal lebih cenderung hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan orang tua lengkap (ganda). Pada subjek S masalah keuangan utama yang dihadapi adalah kesulitan membayar biaya pendidikan kedua anaknya yang masih sekolah. Sementara pada subjek H, sejak hampir 24 tahun yang lalu sampai saat ini ia menghadapi kesulitan keuangan baik itu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun biaya pendidikan anaknya. Sementara subjek D, selain mengalami masalah keuangan subjek juga kesulitan menghadapi kenakalan anak pertamanya. Memang dari keuntungan penjualan warung subjek dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan ongkos transportasi sekolah anaknya, namun terkadang subjek kesulitan untuk menutupi kebutuhan lainnya seperti uang kegiatan dan praktek sekolah anaknya yang pertama (STM). Sedangkan mengenai permasalahan kenakalan anak pertamanya, subjek merasa kesulitan membujuk dan menasihati anak pertamanya yang sering membolos sekolah.
Permasalahan yang dialami oleh ketiga subjek di atas juga sesuai dengan pernyataan Kimmel (1980) yakni masalah khusus yang dialami wanita sebagai orang tua tunggal di antaranya adalah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, kesulitan mendapat pekerjaan yang layak, kesulitan membayar biaya untuk anak, dan kesulitan menutupi kebutuhan lainnya (biaya praktek kegiatan sekolah anak, dan lain-lain).
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa ketiga subjek mengalami beberapa permasalahan umum yang biasanya terjadi pada keluarga dengan orang tua tunggal. (disertakan dalam tabel, pada bagian lampiran. Permasalahan yang dialami ketiga subjek di atas sesuai dengan pernyataan (Kimmel, 1980 dan Walsh, 2003) yakni bahwa keluarga dengan orang tua tunggal secara umum merasa kesepian, terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang timbul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, dan lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
Jika dilihat dari tipologi pribadi tunggal menurut P. Stein (dalam DeGenova, 2008), subjek D merupakan pribadi dengan tipologi voluntary temporary. karena ia sebelumnya pernah menikah dan tidak menolak tentang ide mengenai pernikahan, namun saat ini tidak sedang mencari pasangan. Sedangkan subjek S dan H merupakan pribadi dengan tipologi voluntary stable, karena subjek S dan H sebelumnya pernah menikah dan saat ini memilih untuk menjadi single.
Latar belakang pendidikan orang tua juga mempengaruhi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata subjek hanya lulusan SD. Oleh karena itu, pekerjaan yang dilakoni subjek hanya menghasilkan pendapatan yang sangat sedikit dan akhirnya mempengaruhi kehidupan ekonomi keluarga mereka. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Amanto (dalam DeGenova, 2008) bahwa karakteristik orang tua tunggal seperti jenis kelamin, usia, etnis, dan latar belakang pendidikan dapat mempengaruhi fungsi kehidupan dalam keluarga dengan orang tua tunggal. Sumber daya seperti pendapatan, ketidakstabilan tempat tinggal, dapat menentukan apakah orangtua tunggal dan anaknya mengalami dampak yang positif atau negatif dalam kebahagiaan psikologis, kesehatan, dan hubungan orangtua-anak.
Ketiga subjek berusaha menyelesaikan masalah utamanya dengan berwira usaha dengan meminjam modal di koperasi kelurahan dan tetap menasihati anaknya yang sering membolos sekolah (subjek D), menjadi penjahit (subjek S), dan bekerja keras sebagai karyawan pabrik kasur (subjek H). Dalam hal ini ketiga subjek menggunakan strategi coping planful problem solving dengan berusaha mencari uang sambil merangkap sebagai pendidik anak dan pengurus rumah tangga yang membutuhkan usaha yang berlipatganda dalam menyelesaikan masalahnya sebagai orang tua tua tunggal. Ketiga subjek juga berusaha membagi waktu antara pekerjaanya dengan urusan pendidikan anak dan rumah tangga dan menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga tunggal secara konsekuen.
Meskipun ketiganya tidak mendapatkan bantuan permanen dari pihak manapun baik itu keluarga, tetangga, maupun teman, ketiganya juga enggan bercerita tentang kesulitan ekonomi yang dihadapi baik pada keluarga, tetangga dan teman (kecuali pada subjek S). Dalam hal ini dua subjek (D dan H) menggunakan strategi coping self-control dimana subjek mengatur perasaanya dengan cara menyimpan perasaan-perasaan tersebut agar tidak diketahui oleh orang lain. Sementara subjek S menggunakan strategi coping seeking social support yang ditandai dengan usaha mencari dukungan emosional dari anaknya melalui “curhat”. Oleh karena itu, ia mendapat bantuan berupa perhatian dan terkadang materi jika memang anaknya sedang memiliki uang berlebih.
Mengenai adanya permasalahan kesehatan fisik, mereka rata-rata tidak terlalu menghiraukannya. Karena mereka menganggap itu tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan pendidikan anak. Dalam hal ini dua subjek (D dan H) menggunakan strategi coping distancing yaitu ketiga subjek menjaga jarak antara diri mereka dengan masalah kesehatan yang mereka hadapi dengan bertingkah laku mengabaikan kesehatan mereka selama mereka masih merasa sehat-sehat saja. (kecuali subjek S yang sering mengecek kesehatan ke puskesmas). Hal ini mungkin dipengaruhi karena subjek S memiliki latar belakang pendidikan paling tinggi yakni Aliyah (sejajar SMA). Memang Billings&Moos (dalam Hapsari S. Rini, 1999) menemukan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih sering menggunakan coping terpusat masalah (mengecek kesehatan ke puskemas) dan jarang menggunakan coping menghindar.
Sedangkan permasalahan stigma masyarakat yang buruk (pada subjek D), dihadapi dengan santai saja tanpa ambil pusing dan bahkan pada subjek H, ia sama sekali tidak peduli dengan stigma masyarakat atas dirinya. Dalam hal ini subjek D dan H juga menggunakan strategi coping distancing dengan menolak untuk memikirkan atau larut dalam masalah dan menganggap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil analisis teori, dapat dikatakan bahwa kondisi keluarga ketiga subjek dapat dikatakan sebagai keluarga dengan orang tua tunggal wanita. Karena struktur keluarga ketiga subjek saat ini hanya terdiri dari satu orang tua (ibu) yang hidup bersama anak-anaknya dalam satu rumah dan mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. Secara umum, perasaan ketiga subjek saat mengetahui suaminya meninggal adalah sangat kehilangan, sedih, bingung, dan khawatir bagaimana cara mencari nafkah untuk menutupi seluruh kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Sedangkan perasaan subjek H saat bercerai merasa sangat sedih dan pasrah menerima keadaan.
Masalah utama yang dialami ketiga subjek dalam menjadi orang tua tunggal adalah masalah keuangan. Selain itu, permasalahan umum lainnya yang timbul adalah merasa kesepian, terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner special (pada Subjek D), memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang timbul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
Subjek D merupakan pribadi dengan tipologi voluntary temporary, sedangkan subjek S dan H merupakan pribadi dengan tipologi voluntary stable. Karakteristik orang tua tunggal seperti jenis kelamin, usia, etnis, dan latar belakang pendidikan dapat mempengaruhi fungsi kehidupan dalam keluarga dengan orang tua tunggal. Sumber daya seperti pendapatan, ketidakstabilan tempat tinggal, dapat menentukan apakah orangtua tunggal dan anaknya mengalami dampak yang positif atau negatif dalam kebahagiaan psikologis, kesehatan, dan hubungan orangtua-anak.
Ketiga subjek menggunakan strategi coping planful problem solving dalam usaha untuk mencari uang, mendidik anak, dan mengurus rumah. Subjek D dan H menggunakan strategi coping self-control dalam menyimpan permasalahan kesulitan keuangan yang mereka hadapi agar tidak diketahui orang lain. Sementara subjek S menggunakan strategi coping seeking social support melalui “curhat” dengan anaknya. Mengenai masalah kesehatan fisik, subjek D dan H menggunakan strategi coping distancing. Sedangkan subjek S menggunakan strategi coping planful problem solving. Mengenai stigma buruk terhadap subjek D, ia menghadapinya dengan menggunakan strategi coping distancing. Bahkan pada subjek H, ia sama sekali tidak peduli dengan stigma masyarakat atas dirinya.

Saran

Saran Metodologis

Penelitian ini menggunakan pertanyaan wawancara yang kurang mendalam. Sehingga ada beberapa bagian yang dirasa masih perlu untuk ditanyakan misalnya tentang bagaimana keluarga besar subjek menghadapi kematian suaminya dan apa yang dilakukan subjek setelah suaminya meninggal. Beberapa pertanyaan juga masih bersifat yes-no questions bukan open-ended. Sehingga menyulitkan saya untuk menganalisis jawaban subjek. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum mewawancarai subjek tentukan secara pasti variabel apa saja yang mau diteliti, kemudian operasionalisasi variabel tersebut menjadi bentuk pertanyaan terbuka. Selain itu, observasi mendalam terhadap lingkungan tempat tinggal subjek, anak-anaknya, dan gerak-geriknya ketika menjawab pertanyaan juga sangat diperlukan.

Saran Praktis

Sebaiknya baik keluarga inti maupun keluarga besar, teman, tetangga, dan masyarakat sekitar tempat tinggal memberikan bantuan berupa materi dan dukungan sosial kepada orang tua tunggal wanita. Selain itu, sebaiknya Pekka mengajak psikolog dan ahli ekonomi menjadi bagian di dalamnya untuk memberikan intervensi dalam bentuk pelatihan atau seminar gratis bagi wanita kepala keluarga Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families 7th ed. NY : McGrawHill.
Duvall, Evelyn M. & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.
Hamner, Tommie, & Pauline H. Turner. (1990). Parenting in Contemporary Society (2nd edition). New Jersey: Prentice Hall
Hapsari, S. Rini. (1999). Coping dan Dukungan Sosial Orang Tua Tunggal dalam Pengasuhan Anak (Studi Kualitatif pada 5 Orang Tua Tunggal Wanita Disebabkan Oleh Kematian Suami). Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Kimmel, Douglas C. (1980). Adulhood and Aging. 2nd Edition. Canada: John Wiley&Sons, Inc.
Perlmutter, M. & Hall, Elizabeth. (1985). Adult Development and Aging. New York: John Wiley&Sons, Inc.
Walsh, Froma. (2003). Normal Family Processes 3rd ed: Growing Diversity and Complexity. NY : Guilford Press.
Zakiah, I. Diah. (2007). Self Management Pada Orang Tua Tunggal Wanita dalam Pengasuhan Anak. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
(http://www.pekka.or.id/media/kompas/Republika_19Juli2004.doc) Diunduh tanggal 20 Mei 2010, pukul 15.00 wib
(http://www.gatra.com/2002-07-04/artikel.php?id=18719) Diunduh tanggal 20 Mei 2010, pukul 15.00 wib

Leave a comment